Drop Down MenusCSS Drop Down MenuPure CSS Dropdown Menu

Wednesday 8 August 2018

PERATURAN BPJSK : MEMBATASI DAN MENURUNKAN MUTU LAYANAN KATARAK !




Oleh dr. Riki Tsan,Sp.M
 Ketua Perdami Cabang Bekasi
/Ketua Komite Medik RSUD Cilincing,Jakarta Utara


Saya 'tergelitik' untuk menanggapi pernyataan 'guru' saya, Prof. dr. Aslim Sihotang, Sp.M(K) dan dr. Devy C Mandagi, Sp.M, Pengurus Perdami Cabang Sulawesi Utara terkait dengan penerbitan dan pemberlakuan Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan (Perdirjampelkes) nomor 2 tahun 2018 tentang Penjaminan Pelayanan Katarak di dalam Program JKN.

https://www.gosumut.com/berita/baca/2018/08/06/anggota-dpm-sumut-aturan-bpjs-kesehatan-soal-katarak-dinilai-sudah-tepat/


Ada dua hal yang disampaikan Prof.Aslim.

Pertama.
Terkait dengan pemberlakuan sertifikasi untuk tindakan operasi fakoemulsifikasi.
Prof. Aslim mengatakan proses sertifikasi akan menjamin mutu layanan yang diberikan dan memberikan rasa aman bagi pasien yang dioperasi dan dokter yang mengoperasi, juga termasuk BPJS Kesehatan (BPJSK) yang dalam hal ini sebagai pihak yang menjamin biaya atas tindakan operasi tersebut' 

Kedua

Terkait dengan penjaminan pelayanan operasi katarak yang dilakukan untuk penderita katarak dengan ketajaman penglihatan kurang dari 6/18.
Beliau menegaskan, ' Regulasi tersebut sudah tepat. Sebab tindakan operasi memang hanya perlu dilakukan pada penderita katarak yang sudah memiliki ketajaman penglihatan rendah sehingga dapat bekerja dengan baik '.

'Hal tersebut dapat dikecualikan untuk penderita dengan profesi tertentu yang membutuhkan ketajaman penglihatan optimal seperti pilot', tutur Prof.Aslim.

Prof. Aslim mengimbau kepada seluruh stakeholder, khususnya para Dokter Spesialis Mata agar dapat menanggapi regulasi (Perdirjampelkes) yang telah diterbitkan BPJS Kesehatan ini dengan baik dan positif.

Kita akan mencoba menanggapi peraturan BPJSK ini secara baik dan positip dengan cara mengkritisinya dan menganalisis sisi kelemahannya.


SOAL SERTIFIKASI

Kita sangat mendukung pernyataan Prof. Aslim bahwa sertifikasi untuk tindakan operasi fakoemulsifikasi diperlukan guna memberikan rasa aman bagi pasien, dokter dan BPJSK.

Namun, pertanyaannya ialah kenapa penekanan sertifikasi ini hanya ditujukan kepada tindakan operasi fakoemulsifikasi saja ?.

Bukankah di dalam Perdirjampelkes tersebut disebutkan bahwa tindakan operasi katarak tidak hanya dilakukan dengan teknik fakoemulsifikasi saja ?.

Pada Bab II pasal 3 disebutkan bahwa pelayanan katarak dilakukan melalui tindakan -selain fakoemulsifikasi- small incision cataract surgery (SICS), ICCE dan ECCE.

Jika demi menjamin kenyamanan dokter, pasien dan BPJSK , kenapa tidak semua tindakan operatif di bidang spesialis mata atau di bidang bidang spesialis lainnya diwajibkan juga sertifikasi oleh BPJSK ?.

Pertanyaan seperti ini muncul karena -dalam pemahaman saya- BPJSK sudah terlalu jauh masuk 'mencampuri' urusan yang bukan berada di dalam kewenangannya.

Di era Askes dan juga pada asuransi asuransi manapun, sepanjang yang saya ketahui, kita tidak pernah mendengar ada seorang dokter spesialis mata yang harus memperlihatkan sertifikat kepada asuransi yang bersangkutan jika dia akan melakukan sebuah tindakan operatif.
                         
Kelayakan seorang dokter untuk melakukan kewenangan klinis (clinical previlege) di sebuah fasilitas kesehatan (termasuk tindakan operatif fakoemulsifikasi) dinilai dan ditetapkan oleh Komite Medik Rumah Sakit yang bekerjasama dengan organisasi profesi dalam sebuah proses yang disebut kredensialing.
Hal ini termaktub di dalam Permenkes nomor 755 tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Komite Medik Rumah Sakit.

Di dalam proses kredensialing ini, seorang dokter tidak saja dinilai dari dokumen sertifikat yang dimilikinya, tetapi juga dinilai dari kemampuan fisik serta kondisi kesehatan, jiwa dan mentalnya untuk melaksanakan kewenangan klinis. 


Hasil proses kredensialing ini nantinya akan direkomendasikan kepada direktur/pimpinan rumah sakit , yang selanjutnya akan menerbitkan Surat Penugas (clinical appointment) buat dokter yang bersangkutan.
Kalau BPJSK ingin memastikan apakah seorang dokter layak melakukan tindakan operasi, maka seyogyanya BPJSK dapat mengkonfirmasinya kepada direktur rumah sakit ataupun komite medik rumah sakit, bukannya dengan membuat buat peraturan, yang katanya hanya bersifat internal.

Pengharusan sertifikasi oleh BPJSK -dalam bentuk peraturan- terhadap dokter spesialis mata untuk dapat melakukan operasi fakoemulsifikasi, sesungguhnya telah 'mengintervensi dan menjajah' ranah profesi dan telah melampaui kewenangannya.



Kita sangat setuju dengan sertifikasi seperti dikemukakan oleh Prof.Aslim. 
Namun, kita menolak narasi pengaturan sertifikasi yang ditetapkan oleh sebuah lembaga asuransi seperti BPJSK.

VISUS OPERASI

Prof. Aslim mengatakan tajam penglihatan (visus) kurang dari 6/18, seperti termaktub di dalam regulasi tersebut sudah tepat karena tajam penglihatan serendah ini diperlukan agar dia dapat bekerja dengan baik. Ketentuan ini, lanjut beliau, dikecualikan untuk penderita dengan profesi tertentu yang membutuhkan ketajaman penglihatan optimal seperti pilot.


Di dalam Perdirjampel tersebut pada Bab II, Pasal 2 ayat 2 memang disebutkan bahwa 'Penjaminan pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai indikasi medis pada peserta penderita penyakit katarak dengan visus kurang dari 6/18 preoperatif '.


Lalu, bagaimana dengan orang orang dengan profesi tertentu yang menderita katarak namun visusnya masih lebih baik dari 6/18, padahal aktivitas/pekerjaan keseharian mereka sudah sangat terganggu, sebutlah profesi pilot seperti dicontohkan oleh Prof. Aslim ?.


Sayang sekali, jika mengacu kepada Peraturan BPJSK di atas, pembiayaan operasi kataraknya tidak bisa diklaim kepada BPJSK, karena BPJSK hanya mau membayar klaim operasi katarak dengan visus kurang dari 6/18.


Padahal, di dalam Pedoman Nasional  Pelayanan Kedokteran (PNPK) Katarak yang diterbitkan oleh Perdami, indikasi operasi katarak tidak hanya semata mata berdasarkan visus saja.


Pada halaman 24 tertulis : 'Pertimbangan untuk dilakukan operasi katarak sulit bila ditentukan hanya berdasarkan tajam penglihatan semata....'.

Selanjutnya, PNPK merekomendasikan kapan operasi katarak dilakukan, seperti terlihat berikut ini (halaman 24).

                               

Namun, BPJS menetapkan indikasi operasi katarak hanyalah penurunan tajam penglihatan kurang dari 6/18 (nomor 1)

Ini berarti, mereka tidak akan membayar klaim operasi katarak terhadap pasien pasien yang memiliki visus lebih baik dari 6/18 walaupun telah mengganggu aktivitas sehari hari (nomor 4) ataupun indikasi indikasi lainnya (nomor 2 dan 3)

Dengan demikian, BPJSK telah membatasi ruang lingkup pasien pasien katarak untuk memperoleh layanan operasi katarak dengan mengatur indikasi operasi sesuai dengan 'keinginannya' sendiri.


Kenapa hal ini mereka lakukan ?.

Kuat dugaan hal ini dilakukan karena defisit keuangan BPJSK yang semakin lama semakin menggelembung , dan ditengarai salah satu penyebabnya adalah membengkaknya pembiayaan operasi katarak yang telah terjadi selama ini.

Coba cermati slide presentasi BPJSK yang ditayangkan pada acara Monitoring Evaluasi BPJSK di Makassar bulan Juli yang lalu.






Realisasi biaya CBG operasi katarak termasuk yang tertinggi, yakni lebih kurang Rp.2.65 triliun untuk membiayai hampir 380 ribu kasus katarak sepanjang kurun waktu 2017.

Kenapa realisasi biaya ini sangat besar ?.
Hasil monitoring dan evaluasi BPJSK mencatat bahwa penyebabnya adalah tidak adanya batasan visual acuity (tajam penglihatan) dalam penjaminan operasi katarak. Artinya, selama ini semua pasien katarak dengan semua nilai tajam penglihatan dilakukan operasi oleh dokter spesialis mata.

Nah, untuk mengurangi pembiayaan ini, maka BPJSK mengatur dan menetapkan  kapan pasien katarak bisa dilakukan operasi.

Hal ini persis seperti yang disampaikan oleh Budi Mohamad Arief, Deputi Direksi Bidang Jaminan Pelayanan Kesehatan Rujukan BPJS Kesehatan yang mengatakan : 

'.......pembiayaan layanan katarak, persalinan dengan bayi sehat, dan rehabilitasi medik dinilai tergolong besar. Nilainya hampir sama dengan pembiayaan penyakit katastropik. Untuk itu diatur sejumlah regulasi pembatasan baru. Contohnya operasi katarak ditetapkan baru bisa dioperasi jika pasien dengan visus kurang dari 6/18......'

Beliau menegaskan bahwa persoalan besarnya biaya di atas itulah yang menjadi latar belakang dikeluarkannya Peraturan Dirjampelkes BPJSK tersebut.

https://publiksatu.com/ini-penjelasan-diterbitkannya-aturan-baru-bpjs-kesehatan-tetap-ada-layanan-48019


Ini berarti, pembatasan indikasi operasi pada penderita katarak didasarkan atas kepentingan penghematan pembiayaan. 

Maka, sebagai  solusi atas persoalan keuangan yang sedang membelit mereka, BPJSK membatasi indikasi operasi sesuai keinginannya untuk 'membatasi' masyarakat memperoleh layanan kesehatan yang menjadi hak mereka. 

Sekali lagi, hal ini juga sekaligus menunjukkan bahwa BPJSK telah memasuki kewenangan profesi dengan ikut mengatur atur indikasi operasi.

TINDAKAN OPERASI

Setelah menetapkan indikasi operasi katarak dengan visus kurang dari 6/18, lalu BPJSK menyebutkan bahwa operasi katarak dengan visus tersebut dapat dilakukan melalui 4 tindakan.yakni fakoemulsifikasi,small incision cataract surgery (SICS), Intra Capsular Cataract Extraction (ICCE) dan Extra Capsular Cataract Extraction (ECCE). 

Lihat Perdijampelkes nomor 2/2018, BAB II, pasal 3.


Khusus tentang tindakan ICCE, setahu saya teknik ini tidak digunakan lagi di dalam operasi katarak.
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) Katarak Perdami menyebutkan tindakan ICCE sudah ditinggalkan karena memberikan hasil yang kurang baik (halaman 24)

Mengherankan sekali, kalau BPJSK justru menganjurkan untuk menggunakan teknik ini.

Melakukan operasi katarak ICCE terhadap pasien pasien katarak yang visusnya sedikit kurang dari 6/18 (ambil contoh visus 6/20) akan sangat berisiko terhadap pasien dan hasil operasi sehingga berpotensi memunculkan penuntutan terhadap dokter yang melakukan operasi itu.

Karena itulah, pelayanan operasi katarak dengan ICCE ini jelas pelayanan yang substandar (di bawah standar )....!. 


dr. Devy C Mandagi, Sp.M direktur SMEC Menado dan Wakil Ketua Tim Kendali Mutu dan Kendali Biaya BPJSK Provinsi Sulut mengatakan bahwa peraturan BPJSK ini merupakan bentuk langkah konkrit dari BPJS Kesehatan terhadap kualiltas layanan.


Terus terang saya ragu apakah beliau sudah membaca secara cermat isi peraturan tersebut.

Bagaimana mungkin peraturan yang menyarankan dokter spesialis mata di zaman NOW sekarang ini untuk melakukan operasi katarak ICCE yang hanya dilakukan di zaman 'baheula' itu dapat disebut sebagai bentuk langkah konkrit dari BPJSK dalam menjaga mutu pelayanan operasi katarak ?.
Sungguh, saya gagal paham.........

Dorongan ke arah pelayanan substandar ini semakin diperkuat dengan keluarnya surat dari Direktur BPJSK kepada Ketua Umum PB IDI dan PP Persi bernomor 8920/I.2/0718. 

Di dalam surat tersebut disebutkan bahwa demi efisiensi dan efektivitas program JKN dan kemampuan pembiayaan, maka BPJSK hanya menanggung biaya operasi katarak non fakoemulsifikasi (selain fakoemulsifikasi) yakni ECCE, SICS ataupun ICCE.

Jika pasien harus menjalani operasi fakoemulsifikasi, maka selisih biaya ditanggung oleh rumah sakit dan dokter.....!. Sebuah kebijakan yang amat sangat aneh !.


Masih mengacu kepada peraturan ini.

Hak hak masyarakat untuk memperoleh layanan kesehatan yang optimal diantaranya layanan operasi katarak akhir akhir ini semakin dipersempit dengan adanya penerapan kebijakan pembatasan jumlah (kuota) operasi oleh BPJSK di rumah sakit rumah sakit di seluruh Indonesia, bahkan ada rumah sakit yang sama sekali tidak memperoleh kuota operasi.



https://radarkediri.jawapos.com/read/2018/08/07/92149/muncul-kabar-bpjs-batasi-kuota-operasi-pasien-katarak-cemas

Karena itulah tidak mengherankan kalau dr. Johan Hutauruk, SpM(K) salah seorang Pengurus Pusat Perdami (PP Perdami) mengatakan bahwa peraturan BPJSK tersebut justru akan bisa meningkatkan angka kebutaan akibat katarak di Indonesia. Padahal saat ini Indonesia tengah gencar gencarnya malaksanakan program penurunan angka kebutaan.

Menurutnya, BPJS Kesehatan tidak memiliki kewenangan untuk mengatur permasalahan ini jika dengan alasan untuk efisiensi pelayanan dan pembiayaan.
' Kami yang langsung berhadapan dengan pasien, pasien mau operasi tapi kita bingung sama peraturannya ', katanya.


https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-4146862/perdami-aturan-baru-bpjs-bisa-tingkatkan-angka-kebutaan


Simpulan

Peraturan Dirjampelkes BPJSK nomor 2/2018 ini yang dimaksudkan untuk melakukan upaya efektivitas dan efisiensi program dan pembiayaan dalam kenyataannya telah memasuki dan mengatur  kewenangan profesi, membatasi masyarakat untuk memperoleh layanan operasi katarak yang menjadi hak mereka serta mendorong ke arah pelayanan katarak yang substandar.

PP Perdami sendiri - dalam sebuah surat yang ditujukan kepada Direktur BPJSK (bernomor 0172/PerdXIV/Sek/7/2018) dan kepada seluruh Ketua/Pengurus Cabang se-Indonesia- telah mencabut berita acara kesepakatan dengan BPJSK mengenai pelayanan katarak karena oleh PP Perdami peraturan ini dinilai telah memasuki/mengatur ranah profesi dan akan berdampak kepada penurunan mutu pelayanan yang sangat membahayakan masyarakat dan dokter yang memberikan pelayanan.


Sikap PP Perdami ini sekaligus menepis pernyataan dari Kepala Hubungan Masyarakat (Humas) BPJS Kesehatan, Nopi Hidayat yang menyebutkan seakan akan PP Perdami -dalam berbagai pertemuan dengan BPJSK- telah menyepakati dan menyetujui isi peraturan tersebut. 

http://cahayasiang.com/2018/08/06/bpjs-kesehatan-libatkan-pemangku-kepentingan-dalam-penyusunan-perdirjampelkes/

Sementara itu, PB IDI , Kementerian Kesehatan RI, PP Persi, Arssi dan DJSN sepakat telah menolak peraturan ini dan meminta untuk tidak diberlakukan serta direvisi sebelum diberlakukan.

Salam