Drop Down MenusCSS Drop Down MenuPure CSS Dropdown Menu

Monday 30 July 2018

MENYOAL USULAN INDIKASI OPERASI VISUS > 6/18

   Oleh dr.Riki Tsan,SpM



Pada tanggal 23 Juli 2018, telah diadakan sebuah pertemuan yang diselenggarakan oleh Pengurus Pusat Perdami, dengan mengundang seluruh Ketua Cabang Perdami se-Indonesia.

Pertemuan yang diadakan di Hotel Mercure Jakarta tersebut dimaksudkan - seperti tertulis di dalam undangan- untuk menetapkan sikap bersama terhadap Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan (Dirjampelkes) BPJS Kesehatan nomor 2 tahun 2018 tentang Pelayanan Katarak di dalam Program Jaminan Kesehatan Nasional.

Di dalam pertemuan tersebut, dr. Slamet Budiarto, SH, MH.Kes, Dewan Pakar PB IDI/Ketua IDI Wilayah DKI Jakarta menyampaikan sebuah presentasi berjudul : 'Problema Perdijampel BPJS No.2 Tahun 2018 dan Solusinya'.

Dalam presentasinya tersebut, dr. Slamet menyebutkan ada 3 problema yang berkembang di seputar Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan (Perdijampel) BPJS Kesehatan (BPJSK) tersebut yakni soal sertifikasi, soal kuota operasi katarak dan soal indikasi operasi.



Di dalam tulisan ini, kita akan mencoba menyoroti soal indikasi operasi.

Di dalam Peraturan Dirjampelkes (Perdirjampel) tersebut pada Bab II, Pasal 2 ayat 2 disebutkan :

'Penjaminan pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai indikasi medis pada peserta penderita penyakit katarak dengan visus kurang dari 6/18 preoperatif.

Pertanyaannya ialah apakah indikasi medis untuk operasi pada penderita katarak hanya semata mata berdasarkan visus yang kurang dari 6/18 saja ?.

Mari kita lihat Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) penyakit katarak yang telah diterbitkan oleh Perdami.
Pada halaman 23 dari PNPK tertulis teks di dalam kotak berikut ini :



Rekomendasi operasi nomor 4 : Penurunan tajam penglihatan akibat katarak mengganggu aktivitas sehari hari', lazim disebut sebut sebagai Indikasi Sosial untuk melakukan operasi katarak.

dr. Slamet menyampaikan bahwa BPJS menolak Indikasi Sosial yang ditafsirkan sebagai 'keinginan atau selera pasien untuk memperbaiki penampilan atau kosmetik'. Lagi pula -masih menurut dr Slamet- dalam perspektif Hukum Kesehatan tidak dikenal apa yang disebut dengan Indikasi Sosial untuk melakukan sebuah tindakan operatif.

Sebagai jalan keluar untuk mengakomodir rekomendasi operasi nomor 4 dirubah, beliau mengusulkan perbaikan kalimatnya sehingga menjadi : 'Penurunan Tajam Penglihatan > 6/18 Akibat Katarak Yang Mengganggu Aktivitas Sehari Hari' dan diletakkan pada nomor 2 (lihat foto di bawah ini).

Arti dari simbol > adalah 'lebih baik dari'.


Apakah perbaikan kalimat ini akan  mampu mengakomodirnya sebagai indikasi operasi katarak ?.

KONTRADIKSI

Jika operasi katarak dapat dilakukan dengan dasar visus lebih baik dari (visus >) 6/18 yang disertai gangguan aktivitas sehari hari, maka pernyataan ini bertabrakan dengan pernyataan lain yang termaktub di dalam dokumen PNPK Katarak itu.

Mari kita buka halaman 32, seperti 'tersaji' di bawah ini :
Pada pasien pasien katarak dengan visus lebih baik dari 6/18, oleh PNPK dilakukan penatalaksanaan yang bersifat non bedah yakni diberikan kacamata dengan koreksi terbaik.
Sementara pasien pasien katarak dengan visus kurang dari 6/18 dapat dilakukan dengan tindakan operatif ECCE ataupun SICS.

Narasi terakhir ini, dapat dijadikan alasan oleh BPJSK untuk hanya menanggung klaim operasi katarak sebesar tarif Prosedur Operasi Katarak dengan menggunakan teknik ECCE/SICS.

' Kalau hanya dengan teknik ECCE, terhadap pasien bisa dilakukan operasi katarak, lalu kenapa pula harus dengan teknik Fako yang menghabiskan lebih banyak biaya ?', mungkin demikian argumentasi mereka.

OPERASI PASIEN 6/6

Dokter spesialis mata ataupun anggota Perdami pernah dihebohkan dengan berita/informasi bahwa ada sebuah pusat pelayanan mata (eye centre) yang melakukan operasi katarak terhadap pasien dengtan visus 6/6.

Berbagai macam tuduhan segera dilontarkan kepada eye centre tersebut, seperti tuduhan telah melakukan malpraktek, hanya memikirkan urusan bisnis saja, cara curang untuk memperbanyak pasien demi menggelembungkan pemasukan uang, dan lain lain.

Konon khabarnya si pemilik eye centre tersebut pernah dipanggil dan 'diadili' oleh pengurus Perdami. Saya sendiri pernah bertemu dengan beliau di sebuah pertemuan dan menanyakan langsung kebenaran informasi tersebut.

Dia membantah telah melakukan operasi pada pasien yang memiliki visus 6/6, tanpa adanya kelainan katarak dan tanpa adanya keluhan lainnya.

Dia berdalih bahwa orang bisa saja menderita katarak dan mengalami keluhan keluhan visual sehingga  mengganggu aktivitasnya sehari hari walaupun visusnya 6/6.
Pasien pasien seperti inilah yang kami operasi, katanya.

Nah, usulan dr. Slamet tersebut terkait dengan kebolehan melakukan operasi katarak pada pasien pasien katarak dengan visus lebih baik dari 6/18 dan gangguan aktivitas sehari hari, setidaknya menjustifikasi apa yang dilakukan sejawat kita tersebut.

Maka, jangan salahkan sejawat kita itu ataupun sejawat sejawat kita lainnya jika suatu waktu kelak terhadap pasien pasien katarak dengan visus 6/6 dilakukan operasi di berbagai rumah sakit di Indonesia.

Apakah BJPSK akan menerimanya ?.
Dengan defisit keuangan yang masih mendera mereka, saya tidak yakin bahwa mereka akan menerimanya.

Lagipula, persyaratan 'gangguan aktivitas sehari hari itu' amat sangat subjektif dan tidak terukur secara objektif, maka potensi terjadinya 'fraud' ataupun 'moral hazard' sangat mungkin terjadi.

Pada titik inilah kita dituntut untuk mendengarkan suara 'hati nurani' kita yang paling dalam.......

Saya berpendapat agar usulan tersebut harus ditinjau ulang.
Kalaupun akan diterima, Perdami harus menelaah ulang secara lebih cermat dan merevisi bagian bagian lain dari PNPK  Katarak tersebut.

Mudah mudah tulisan yang 'sederhana' dan penuh dengan 'kekurangan' ini dapat menjadi 'trigger' untuk memunculkan ide ide dan gagasan gagasan yang lebih baik untuk kemashlahatan profesi kita.
Viva Perdami.....

Salam