Drop Down MenusCSS Drop Down MenuPure CSS Dropdown Menu

Sunday 22 July 2018

BENARKAH BPJS KESEHATAN TIDAK MEMASUKI RANAH PROFESI ?

               
TANGGAPAN TERHADAP DIREKTUR UTAMA BPJS KESEHATAN

Oleh dr. Riki Tsan, Sp.M

Minggu minggu awal di bulan Juli ini, Direktur Penjaminan Pelayanan Kesehatan (Dirjampelkes) BPJS Kesehatan (BPJSK) menerbitkan beberapa peraturan , diantaranya petraturan nomor 2 tahun 2018 yang memuat Kebijakan Pelayanan Katarak.

Peraturan Dirjampelkes ini sontak membuat ‘gegap gempita’ dunia maya, khususnya di grup grup media sosial dari komunitas anggota dan pengurus Perdami Cabang di seluruh Indonesia. 
 dr.Maya,Dirjampelkes BPJS
Peraturan ini juga menuai keresahan dan ketidakpastian di kalangan dokter spesialis mata yang bekerja di rumah sakit rumah sakit di berbagai daerah  di seluruh penjuru negeri ini setelah BPJSK di daerah mengeluarkan kebijakan teknis sebagai implementasi dari peraturan Dirjampelkes tersebut.

Apa isi dari peraturan itu ?.
Mari kita lihat slide presentasi  berjudul 'Sosialisasi Tentang Penjaminan Katarak, Rehabilitasi Medik dan Penjaminan Persalinan dengan Bayi Lahir Sehat' berikut ini :




Beberapa hari kemudian Pengurus Pusat Perdami (PP Perdami) di dalam surat bernomor 0172/Perd.XIV/Sek/7/2018 tertanggal 12 Juli 2018 yang ditujukan kepada Direktur Utama BPJS Kesehatan menyatakan mencabut berita acara kesepakatan dengan BPJS Kesehatan.

Alasan PP Perdami mencabut kesepakatan ini ialah bahwa BPJS Kesehatan tidak mempunyai kewenangan dalam membuat peraturan yang mengatur ranah medis/kedokteran (indikasi, pemeriksaan, tindakan medis dan kompetensi) khususnya regulasi pelayanan katarak.                       

PP Perdami juga menyebutkan bahwa regulasi ini akan berdampak kepada penurunan mutu pelayanan khususnya pelayanan penyakit katarak yang akan sangat membahayakan bagi masyarakat dan dokter yang memberikan pelayanan.

Pengurus Besar IDI (PB IDI) menyetujui dan mendukung PP Perdami ini (surat bernomor 010435/PB/F4/07/2018, 12 Juli 2018).

Dalam surat yang ditujukan kepada Direktur Utama BPJSK, PB IDI kembali menegaskan bahwa BPJSK –sebagaimana diatur di dalam UU SJSN dan UU BPJS- hanya memiliki kewenangan dalam  teknis pembayaran dan tidak memasuki ranah medis. 
Dalam bekerja, dokter harus mengedepankan pelayanan sesuai standar profesi dan tidak dipengaruhi oleh permasalahan pembiayaan yang membahayakan keselamatan pasien.

Artinya, ranah medis ini jangan ‘diganggu dan diurus’ oleh BPJS karena ia berada di dalam ruang lingkup pelayanan berbasis standar profesi.

Bagaikan sepasang insan yang sedang‘berbalas pantun’, Direktur Utama BPJSK segera membalas surat PB IDI ini.

Di dalam surat setebal 3 halaman dengan nomor 8920/I.2/07/18, 18 Juli 2018, BPJSK ‘membela diri’ dengan mengatakan (dalam huruf huruf tebal), ‘Tidak ada sama sekali maksud dalam Peraturan Dirjampelkes BPJS Kesehatan tersebut yang mengatur ranah profesi’

Benarkah demikian ?. Apakah yang ditulis/diucapkan oleh BPJSK ini sesuai dengan kenyataan dan fakta sesungguhnya ?. Mari kita uji…… supaya jangan ada ‘dusta’ diantara kita…….😎😎😎

RANAH PROFESI

Salah satu amanah yang wajib dilaksanakan oleh organisasi profesi adalah menyusun Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) .
Permenkes no.1438 tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Kedokteran pasal 3 ayat 2 menyebutkan bahwa PNPK dibuat oleh organisasi profesi serta disahkan oleh Menteri.

Apa itu PNPK ?.
PNPK adalah salah satu bagian  dari Standar Pelayanan Kedokteran yang bersifat nasional (pasal 3 ayat 1).

PNPK memuat penyataan yang dibuat secara sistematis yang didasarkan pada bukti ilmiah (scientific evidence) untuk membantu dokter/dokter gigi serta pembuat keputusan klinis tentang tata laksana penyakit atau kondisi klinis yang spesifik (pasal 7).

Salah satu turunan dari PNPK ini berbentuk Panduan Praktik Klinis (PPK) yang disusun oleh staf medis pada fasilitas pelayanan kesehatan (rumah sakit) dengan koordinator Komite Medik di masing masing rumah sakit (pasal 11).

Panduan Praktik Klinis harus memuat sekurang-kurangnya mengenai pengertian, anamnesis, pemeriksaan fisik, kriteria diagnosis, diagnosis banding, pemeriksaan penunjang, terapi, edukasi, prognosis dan kepustakaan (pasal 10 ayat 5).

Penjelasan panjang dan (mungkin) agak ‘membosankan’ di atas hanya ingin menegaskan bahwa ranah medis –seperti disampaikan oleh PB IDI dan PP Perdami- terkait dengan indikasi, pemeriksaan, tindakan medis dan kompetensi pada penatalaksanaan penyakit penyakit tertentu berada pada ruang lingkup dan kewenangan ranah profesi.

Dalam konteks ini Perdami telah menerbitkan PNPK Penyakit Katarak yang akan segera disahkan oleh Menteri Kesehatan. Lihat SK Ketua PP Perdami bernomor 032/Perd.XIV/Sek/SK/3/2018, bertanggal 26 Maret 2018 yang ditujukan kepada seluruh Ketua Perdami Cabang di seluruh Indonesia.

ACUAN BPJSK ?

Dalam membuat peraturan terkait Kebijakan Pelayanan Katarak, Dirjampelkes menyebut ‘Bahwa penjaminan pelayanan operasi katarak mengacu kepada standar pelayanan katarak yang dikeluarkan Perdami’ (angka 2).

Dari sisi nomenklatur, istilah standar pelayanan katarak tidak dikenal di dalam Permenkes 1438 tahun 2010 itu. Mungkin, yang dimaksud oleh BPJS adalah Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Penyakit Katarak (PNPK Katarak) yang telah dikeluarkan Perdami.

Jika memang benar seperti itu, maka hal ini sebuah ‘pengetahuan baru’ buat saya  bahwa PNPK bisa dijadikan sebagai acuan penjaminan klaim asuransi.

Padahal dalam Permenkes itu disebutkan bahwa PNPK diperlukan untuk kepentingan acuan penyusunan Standar Prosedur Operasional (SPO) yang diantaranya dalam bentuk PPK yang disesuaikan dengan fasilitas dan sumber daya manusia di masing masing rumah sakit.

INDIKASI OPERASI

Mari kita lihat Kebijakan Pelayanan Katarak seperti yang termaktub pada angka 3.


‘Peserta penderita katarak dengan visus (lapang pandang penglihatan) kurang dari 6/18 perlu mendapatkan operasi katarak dan dijamin BPJS karena sesuai indikasi medis masuk dalam gangguan penglihatan kategori sedang ( moderate low vision )

Tanggapan pertama

Saya hampir mati ketawa membaca kalimat ‘visus diartikan - di dalam tanda kurung- lapang pandang penglihatan’.

Mungkin para pakar BPJS harus lebih cermat dan lebih teliti dalam membuat sosialisasi peraturan yang berskala nasional seperti Peraturan Dirjanpelkes ini atau setidaknya –saran saya- mereka perlu belajar dari para coass atau residen mata di institusi institusi pendidikan kedokteran di Indonesia.

Sekedar informasi saja.
Visus (visual acuity) biasa kami terjemahkan dengan tajam penglihatan, bukan lapang pandang penglihatan (visual field). Perbedaan keduanya ibarat bumi dengan langit !.

Disini BPJSK telah ‘mengintervensi’ nomenklatur yang sebetulnya merupakan ranah profesi. Mudah mudahan ini cuma salah ketik saja…….

Tanggapan kedua.

BPJSK mengatakan : ‘ visus (lapangan pandang penglihatan?) kurang dari 6/18 perlu mendapatkan operasi katarak dan dijamin BPJS karena sesuai indikasi medis.

PNPK Katarak Perdami mengatakan : ‘Sesuai dengan tujuan mengatasi kebutaan dan gangguan penglihatan, maka operasi katarak sangat dianjurkan jika penurunan tajam penglihatan yang disebabkan oleh katarak telah menyebabkan penurunan tajam penglihatan dengan koreksi sama dengan/kurang dari 6/18 (halaman 22).

Perhatikan.
BPJSK menegaskan pasien pasien katarak dengan visus kurang dari 6/18 perlu (bisa diartikan necessary atau harus’ atau wajib’ ) dioperasi, sementara Perdami menyebut ‘sangat dianjurkanatau recommended saja !.
Meminjam bahasa agama, buat BPJS operasi itu ‘wajib’ (fardhu), sementara buat Perdami hanya ‘sunnat’ saja.

Pada titik ini, BPJSK sudah mengintervensi –untuk tidak mengatakan ‘membuat buat’- indikasi medis untuk operasi katarak yang sebetulnya merupakan ranah profesi.

Tentang perlunya operasi katarak pada semua pasien katarak dengan hanya berdasarkan visus pasien saja tanpa mempertimbangkan hal hal lain seperti ditetapkan oleh BPJSK, maka harus dipertimbang masak masak karena boleh jadi akan sangat ‘berbahaya’ buat pasien maupun dokter  seperti akan nanti dipaparkan

Bersambung………