Oleh dr. Riki Tsan, Sp.M
Minggu minggu awal di bulan Juli ini, Direktur Penjaminan Pelayanan Kesehatan
(Dirjampelkes) BPJS Kesehatan (BPJSK) menerbitkan beberapa peraturan , diantaranya petraturan nomor 2 tahun
2018 yang memuat Kebijakan Pelayanan
Katarak.
Peraturan Dirjampelkes ini sontak membuat ‘gegap gempita’ dunia maya, khususnya di grup grup media sosial dari komunitas anggota dan pengurus Perdami Cabang di seluruh Indonesia.
Peraturan Dirjampelkes ini sontak membuat ‘gegap gempita’ dunia maya, khususnya di grup grup media sosial dari komunitas anggota dan pengurus Perdami Cabang di seluruh Indonesia.
![]() |
dr.Maya,Dirjampelkes BPJS |
Apa isi dari peraturan itu ?.
Mari kita lihat slide presentasi berjudul 'Sosialisasi Tentang Penjaminan Katarak, Rehabilitasi Medik dan Penjaminan Persalinan dengan Bayi Lahir Sehat' berikut ini :
Mari kita lihat slide presentasi berjudul 'Sosialisasi Tentang Penjaminan Katarak, Rehabilitasi Medik dan Penjaminan Persalinan dengan Bayi Lahir Sehat' berikut ini :
Beberapa hari kemudian Pengurus Pusat Perdami (PP Perdami) di dalam surat bernomor 0172/Perd.XIV/Sek/7/2018 tertanggal 12 Juli
2018 yang ditujukan kepada Direktur Utama BPJS Kesehatan menyatakan mencabut berita acara
kesepakatan dengan BPJS Kesehatan.
Alasan PP Perdami mencabut kesepakatan ini ialah bahwa
BPJS Kesehatan tidak mempunyai kewenangan dalam membuat peraturan yang mengatur ranah medis/kedokteran (indikasi,
pemeriksaan, tindakan medis dan kompetensi) khususnya regulasi pelayanan
katarak.
PP Perdami
juga menyebutkan bahwa regulasi ini akan berdampak kepada penurunan mutu
pelayanan khususnya pelayanan penyakit katarak yang akan sangat membahayakan
bagi masyarakat dan dokter yang memberikan pelayanan.
Pengurus Besar IDI (PB IDI) menyetujui dan mendukung PP
Perdami ini (surat bernomor 010435/PB/F4/07/2018, 12 Juli 2018).
Dalam surat yang ditujukan kepada Direktur Utama BPJSK, PB IDI kembali menegaskan bahwa BPJSK –sebagaimana diatur di dalam UU SJSN
dan UU BPJS- hanya memiliki kewenangan dalam
teknis pembayaran dan tidak
memasuki ranah medis.
Dalam bekerja, dokter harus mengedepankan pelayanan sesuai standar profesi dan tidak dipengaruhi oleh permasalahan pembiayaan yang membahayakan keselamatan pasien.
Dalam bekerja, dokter harus mengedepankan pelayanan sesuai standar profesi dan tidak dipengaruhi oleh permasalahan pembiayaan yang membahayakan keselamatan pasien.
Artinya, ranah medis ini jangan ‘diganggu dan diurus’ oleh
BPJS karena ia berada di dalam ruang lingkup pelayanan berbasis standar profesi.
Bagaikan sepasang insan yang sedang‘berbalas pantun’, Direktur
Utama BPJSK segera membalas surat PB IDI ini.
Di dalam surat setebal 3 halaman dengan nomor 8920/I.2/07/18,
18 Juli 2018, BPJSK ‘membela diri’ dengan mengatakan (dalam huruf huruf tebal), ‘Tidak ada sama sekali maksud dalam
Peraturan Dirjampelkes BPJS Kesehatan tersebut yang mengatur ranah profesi’
Benarkah demikian ?. Apakah yang ditulis/diucapkan
oleh BPJSK ini sesuai dengan kenyataan dan fakta sesungguhnya ?. Mari kita uji……
supaya jangan ada ‘dusta’ diantara kita…….😎😎😎
RANAH PROFESI
Salah satu amanah yang wajib dilaksanakan oleh
organisasi profesi adalah menyusun Pedoman Nasional
Pelayanan Kedokteran (PNPK) .
Permenkes no.1438 tahun 2010 tentang Standar Pelayanan
Kedokteran pasal 3 ayat 2 menyebutkan bahwa PNPK dibuat oleh organisasi profesi
serta disahkan oleh Menteri.
Apa itu PNPK ?.
PNPK adalah salah satu bagian dari Standar
Pelayanan Kedokteran yang bersifat nasional (pasal 3 ayat 1).
PNPK memuat penyataan yang dibuat secara sistematis
yang didasarkan pada bukti ilmiah (scientific
evidence) untuk membantu dokter/dokter gigi serta pembuat keputusan klinis
tentang tata laksana penyakit atau kondisi klinis yang spesifik (pasal 7).
Salah satu turunan dari PNPK ini berbentuk Panduan
Praktik Klinis (PPK) yang disusun
oleh staf medis pada fasilitas pelayanan kesehatan (rumah sakit) dengan koordinator
Komite Medik di masing masing rumah sakit (pasal 11).
Panduan Praktik
Klinis harus memuat sekurang-kurangnya mengenai pengertian, anamnesis,
pemeriksaan fisik, kriteria diagnosis, diagnosis banding, pemeriksaan
penunjang, terapi, edukasi, prognosis dan kepustakaan (pasal 10 ayat 5).
Penjelasan panjang dan (mungkin) agak ‘membosankan’ di
atas hanya ingin menegaskan bahwa ranah medis –seperti disampaikan oleh PB IDI dan PP Perdami- terkait dengan indikasi, pemeriksaan, tindakan medis dan kompetensi
pada penatalaksanaan penyakit penyakit tertentu berada pada ruang lingkup dan kewenangan ranah profesi.
Dalam konteks ini Perdami telah menerbitkan PNPK Penyakit Katarak yang akan segera
disahkan oleh Menteri Kesehatan. Lihat SK Ketua PP Perdami bernomor 032/Perd.XIV/Sek/SK/3/2018,
bertanggal 26 Maret 2018 yang ditujukan kepada seluruh Ketua Perdami Cabang di
seluruh Indonesia.
ACUAN BPJSK ?
Dalam membuat peraturan terkait Kebijakan Pelayanan Katarak, Dirjampelkes menyebut ‘Bahwa
penjaminan pelayanan operasi katarak mengacu kepada standar pelayanan katarak yang dikeluarkan Perdami’ (angka 2).
Dari sisi nomenklatur, istilah standar pelayanan katarak tidak dikenal di dalam Permenkes 1438
tahun 2010 itu. Mungkin, yang dimaksud oleh BPJS adalah Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Penyakit Katarak (PNPK Katarak)
yang telah dikeluarkan Perdami.
Jika memang benar seperti itu, maka hal ini sebuah ‘pengetahuan
baru’ buat saya bahwa PNPK bisa dijadikan
sebagai acuan penjaminan klaim asuransi.
Padahal dalam Permenkes itu disebutkan bahwa PNPK diperlukan
untuk kepentingan acuan penyusunan Standar
Prosedur Operasional (SPO) yang diantaranya dalam bentuk PPK yang disesuaikan dengan fasilitas
dan sumber daya manusia di masing masing rumah sakit.
INDIKASI OPERASI
Mari kita lihat Kebijakan
Pelayanan Katarak seperti yang termaktub pada angka 3.
‘Peserta penderita katarak dengan visus (lapang pandang penglihatan) kurang dari 6/18 perlu mendapatkan operasi katarak dan dijamin BPJS karena sesuai indikasi medis masuk dalam gangguan penglihatan kategori sedang ( moderate low vision )
Tanggapan pertama
Saya hampir mati ketawa membaca kalimat ‘visus diartikan - di dalam tanda kurung- lapang pandang penglihatan’.
Mungkin para pakar BPJS harus lebih cermat dan lebih
teliti dalam membuat sosialisasi peraturan yang berskala nasional seperti Peraturan
Dirjanpelkes ini atau setidaknya –saran saya- mereka perlu belajar dari para coass atau residen mata di institusi
institusi pendidikan kedokteran di Indonesia.
Sekedar informasi saja.
Visus (visual
acuity) biasa kami terjemahkan dengan tajam penglihatan, bukan lapang pandang
penglihatan (visual field). Perbedaan keduanya ibarat bumi dengan langit !.
Disini BPJSK telah ‘mengintervensi’ nomenklatur yang sebetulnya
merupakan ranah profesi. Mudah mudahan ini cuma salah ketik saja…….
Tanggapan kedua.
BPJSK mengatakan : ‘ visus (lapangan pandang penglihatan?) kurang dari 6/18 perlu mendapatkan operasi katarak dan
dijamin BPJS karena sesuai indikasi medis.
PNPK Katarak
Perdami mengatakan : ‘Sesuai dengan tujuan mengatasi kebutaan dan gangguan
penglihatan, maka operasi katarak sangat
dianjurkan jika penurunan tajam penglihatan yang disebabkan oleh katarak
telah menyebabkan penurunan tajam penglihatan dengan koreksi sama dengan/kurang
dari 6/18 (halaman 22).
Perhatikan.
BPJSK menegaskan pasien pasien katarak dengan visus kurang dari 6/18 perlu (bisa diartikan necessary atau ‘harus’ atau ‘wajib’ ) dioperasi, sementara Perdami menyebut ‘sangat dianjurkan’ atau recommended saja !.
BPJSK menegaskan pasien pasien katarak dengan visus kurang dari 6/18 perlu (bisa diartikan necessary atau ‘harus’ atau ‘wajib’ ) dioperasi, sementara Perdami menyebut ‘sangat dianjurkan’ atau recommended saja !.
Meminjam bahasa agama, buat BPJS operasi itu ‘wajib’ (fardhu), sementara buat Perdami
hanya ‘sunnat’ saja.
Pada titik ini, BPJSK sudah mengintervensi –untuk tidak
mengatakan ‘membuat buat’- indikasi
medis untuk operasi katarak yang sebetulnya merupakan ranah profesi.
Tentang perlunya operasi katarak pada semua pasien katarak
dengan hanya berdasarkan visus pasien saja tanpa mempertimbangkan hal hal lain seperti ditetapkan oleh BPJSK, maka harus dipertimbang
masak masak karena boleh jadi akan sangat ‘berbahaya’ buat pasien maupun dokter seperti akan nanti dipaparkan
Bersambung………