Drop Down MenusCSS Drop Down MenuPure CSS Dropdown Menu

Saturday 9 November 2019

IMPLIKASI PERUBAHAN ALUR PENJAMINAN KACAMATA BPJS : SOAL KOMPETENSI DAN RUJUKAN !

dr.Riki Tsan,SpM



'TEMU TEKKO' MEMBAHAS PENJAMINAN KACAMATA BPJS

Mulai tanggal 1 November sampai dengan 31 Desember 2019, BPJS Kesehatan (BPJS) melakukan uji coba perubahan alur penjaminan pelayanan kacamata buat para peserta JKN-KIS.

Delapan belas kota yang melakukan uji coba adalah Medan, Banda Aceh, Lhokseumawe, Bukittinggi, Padang, Jambi, Palembang, Pangkal Pinang, Prabumulih, Curup, Lubuk Linggau, Bengkulu, Bekasi, Bandung, Semarang, Surakarta, Surabaya, dan Manado.

Perubahan seperti apa yang akan dilaksanakan pada uji coba ini ?.

Selama ini, pasien pasien yang mengalami gangguan tajam penglihatan dan memerlukan alat bantu kacamata harus dirujuk ke rumah sakit oleh dokter umum yang bekerja di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) seperti puskesmas ataupun klinik.

Di rumah sakit, pasien pasien ini akan diperiksa oleh dokter spesialis mata yang kemudian membuat resep kacamata. Setelah dilegalisasi, pasien membawa resep kacamata tersebut ke optik yang bekerjasama dengan BPJS untuk ditebus dengan kacamata.

BPJS merubah alur penjaminan pelayanan kacamata ini.
Pasien tidak lagi perlu dirujuk ke rumah sakit untuk memperoleh resep kacamata, cukup lewat dokter umum di FKTP saja.

Dengan memotong alur penjaminan pelayanan kacamata ini, diperkirakan BPJS akan dapat 'menghemat' klaim pembayaran lebih dari 300 milyar rupiah dalam satu tahun.

Pertanyaan kita ialah apakah dokter umum di FKTP memiliki kompetensi untuk menangani gangguan tajam penglihatan (yang lazim disebut dengan Anomali Refraksi) dan dapat membuat resep kacamata ?.

KOMPETENSI

Terkait dengan pertanyaan di atas ,mari kita lihat regulasi/peraturan yang dijadikan landasan hukum oleh BPJS untuk memberlakukan perubahan alur penjaminan pelayanan kacamata ini

Pertama. Keputusan Menteri Kesehatan nomor 514 tahun 2015 (KMK 514/2015)
Di dalam KMK 514/2015 termaktub bahwa dokter umum dapat menangani atau melakukan penatalaksanaan penyakit Anomali Refraksi secara mandiri dan tuntas.

Anomali Refraksi terdiri dari miopia, hipermetropia, astigmatisme dan presbiopia (halaman 212-220)

Kedua. Standar Kompetensi Dokter Indonesia, yang diterbitkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia tahun 2012 (SKDI KKI 2012)

Di dalam dokumen negara ini, dokter umum disebutkan memiliki keterampilan untuk menangani kasus miopia, hipermetropia, astigmatisme dan presbiopia serta membuat resep kacamata (halaman 38)

Surat Pengurus Pusat Perdami (PP Perdami) yang ditujukan kepada Dirjen Pelayanan Kesehatan Kemenkes, Juli 2019, menegaskan bahwa kasus Anomali Refraksi dapat diselesaikan secara tuntas di FKTP sampai dengan pemberian resep kacamata oleh dokter umum.

Nah, berdasarkan hal di atas, kita tidak bisa memungkiri bahwa dokter umum di FKTP memang memiliki kompetensi untuk menangani kasus Anomali Refraksi secara mandiri dan tuntas serta memberikan resep kacamata.

Pertanyaan berikutnya ialah apakah dokter umum tersebut memiliki kemampuan dan kompetensi untuk menangani semua (sekali lagi, semua !) kasus Anomali Refraksi di FKTP ?.

Jawabnya, tidak........!!. Kenapa ?.

Karena, berdasarkan kedua dokumen di atas, dokter umum di FKTP hanya memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk menangani kasus kasus Anomali Refraksi yang ringan dan sederhana saja......sekali lagi, Anomali Refraksi Ringan !


Jadi, dokter umum di FKTP hanya dapat menangani kasus miopia ringan, hipermetropia ringan dan astigmatisme ringan saja !

Saya cuplik tampilan pernyataan di atas dari SKDI KKI 2012.


Pertanyaan berikutnya ialah apa yang dimaksud dengan Anomali Refraksi ringan atau sederhana itu ?.

Persatuan Dokter Spesialis Mata Indonesia (Perdami), sebagai satu satunya organisasi profesi dokter spesialis mata yang diakui pemerintah telah menegaskan bahwa yang dimaksud dengan Anomali (Kelainan) Refraksi ringan atau sederhana itu ialah :

'Kelainan Refraksi yang dapat dikoreksi (diperbaiki) dengan lensa kacamata sferis paling besar -3 (minus tiga) pada miopia, +3 (plus tiga) pada hipermetropia dan lensa kacama silindris paling besar 2 D (dua diopteri) pada astigmatisme'

Perlu digarisbawahi, hasil koreksi dengan lensa kacamata di atas harus dapat mencapai batas penglihatan normal atau emetropia (dengan notasi 6/6 pada snellen chart)

Perdami juga menegaskan bahwa penanganan kasus anomali refraksi ringan dan sederhana dengan kriteria di atas dilakukan secara tuntas sampai dengan meresepkan kacamata oleh dokter umum di FKTP.

(surat PP Perdami kepada Dirjen Yankes Kemenkes, no.0275/Perd.XIV/Sek/7/2019)


RANAH RUJUKAN

Dari sisi besaran lensa koreksi, Kelainan Refraksi itu dibagi 3, yakni ringan/sederhana, sedang dan berat.

Kompetensi dokter umum dan pemberian resep kacamata hanyalah pada kelainan refraksi ringan saja dengan kriteria di atas.
Ranah ini kita sebut dengan ranah anomali refraksi non-spesialistik, karena dapat diselesaikan oleh dokter umum di FKTP saja.

Dengan demikian, anomali refraksi sedang maupun berat  dan atau hasil koreksi yang tidak mencapai tajam penglihatan normal (emetropia,6/6) berada pada ranah anomali refraksi spesialistik dan harus dirujuk ke rumah sakit untuk ditangani oleh dokter spesialis mata.

Kasus kasus anomali refraksi ringan jumlahnya hampir menyamai kasus anomali refraksi sedang/berat.

Jadi, jika perubahan alur penjaminan kacamata ini diberlakukan dan BPJS mengklaim dapat menahan semua (1.35 juta lebih) kasus anomali refraksi yang dirujuk ke rumah sakit untuk mendapatkan kacamata, maka hal ini tidak sepenuhnya benar. Kenapa ?.

Karena, di dalamnya terdapat juga kasus kasus anomali sedang dan berat, yang memang harus dirujuk ke rumah sakit dan tidak bisa ditangani di FKTP berdasarkan kompetensi yang dimiliki dokter di FKTP.

Jumlah kasus anomali refraksi yang bisa 'ditahan' menjadi semakin berkurang....!!!. Mungkin tinggal 50 % sampai 60 % saja yang ditangani di FKTP.

Ini baru dari sisi 'besaran koreksi lensa kacamata'.
Mari kita lihat dari sisi lain.


KELAINAN PENYERTA

Kasus 1.
Seorang pasien datang berobat ke dokter mata.
Dia baru saja mendapatkan kacamata dari optik. 
Saat menggunakan kacamata tersebut, dia merasakan pusing dan mual sehingga kacamata tersebut tidak lagi dipakainya.
Oleh dokter mata, si pasien diperiksa dan didapatkan hasil  :Mata kanan normal (emetropia) dengan lensa ukuran nol
Mata kiri dapat mencapai emetropia dengan lensa ukuran  sferis -3 dan silindris -2

Kasus 2
Seorang anak datang berobat ke dokter mata.
Salah satu matanya juling.
Dia sudah lama menggunakan kacamata yang diperolehnya dari optik.
Hasil pemeriksaan ulang, ditemukan perbedaan nilai lensa koreksi antara mata kanan dan kiri
--

Otak kita menggabungkan dan mengolah bayangan yang terbentuk dari kedua mata dan menjadikannya satu objek tunggal sehingga kita dapat kita melihat objek yang bersangkutan secara jelas dan tajam.

Jika terdapat perbedaan bayangan yang cukup besar yang masuk dari kedua mata kita. Keadaan ini disebut dengan Aniseikonia.

Aniseikonia bisa disebabkan adanya perbedaan tajam penglihatan dan perbedaan nilai koreksi lensa kacamata yang cukup besar diantara mata kanan dan mata kiri. Keadaan ini dikenal dengan  Anisometropia 

Jika perbedaan koreksi kacamata yang cukup besar itu tetap diberikan akan menimbulkan keluhan/gejala klinis :

Pertama. Munculnya keluhan keluhan subjektif seperti penglihatan ganda, pusing/sakit kepala, mual, penglihatan ganda sampai muntah. Persis seperti yang terjadi pada pasien di kasus pertama di atas.

Kedua. Otak 'memilih' bayangan dari mata yang lebih baik tajam penglihatannya dan 'menelantarkan' mata yang lain. Mata yang 'ditelantarkan' menjadi tidak aktif, tidak berfungsi alias malas yang disebut dengan Lazy Eye atau dalam bahasa kedokteran dikenal dengan Ambliopia

Celakanya, jika si lazy eye ini dibiarkan begitu saja dan tidak ditangani secara benar , maka dalam jangka waktu tertentu, gerakannyanya tidak lagi selaras dengan mata lainnya. Mata pasien akan terlihat juling, persis yang dialami oleh pasien pada kasus kedua. 
--

Dengan penjelasan panjang dan sederhana di atas, saya hanya ingin menegaskan satu hal saja, yakni :

Bahwa para dokter di FKTP tidak boleh hanya fokus semata mata memberikan lensa minus, plus ataupun silindris saja kepada pasien pasien dengan gangguan penglihatan (anomali refraksi).

Walaupun, kelainan refraksi pasiennya bisa dikoreksi dan masing masing mata dapat mencapai tajam penglihatan emetropia, namun mereka juga harus memperhatikan ada tidaknya keluhan keluhan subjektif terkait dengan Anisometropia, Ambliopia maupun mata juling, khususnya pada pasien anak anak.


Jangan karena menggampangkan pemeriksaan atau tidak melakukan pemeriksaan secara cermat, kepuasaan pasien menjadi terabaikan, mutu pelayanan menurun dan bahkan dapat mencederai atau menimbukan kecacatan pada mata pasien seperti 2 kasus di atas.

Penatalaksanaan anisometropia, ambliopia maupun mata juling sudah memasuki ranah spesialistik, dan harus dirujuk ke dokter spesialis mata di rumah sakit.

Kondisi kondisi klinis di atas hanyalah sebagian kecil saja dari kelainan kelainan penyerta yang mengharuskan dokter di FKTP untuk merujuk pasien pasien dengan kelainan refraksi.

Buat dokter di FKTP, memang tidak mudah untuk mendeteksi kelainan kelainan penyerta ini.

Apalagi selama ini, para dokter di FKTP hampir hampir tidak pernah melakukan pemeriksaan visus sederhana, apalagi memberikan koreksi lensa kacamata.

Hal ini disebabkan pelayanan mereka di FKTP terfokus kepada penyakit penyakit lain yang lebih besar dan rumit penatalaksanaannya, disibukkan dengan keharusan melayani banyak pasien, waktu kerja yang terbatas dan yang paling mencolok.......tidak adanya sarana dan prasarana yang mendukung untuk melakukan pemeriksaan.

Coba sebutkan satu saja FKTP yang memiliki alat pemeriksaan visus refraksi sederhana seperti snellen chart, trial lens/frame dan cakram pinhole. Tidak ada....!!.

Karena itulah, dalam pandangan IDI, setelah menelaah kesiapan sarana dan prasarana serta pembiayaan kapitasi,  kasus Anomali Refraksi (miopia,astigmatisme, hipermetropia dan presbiopia) tidak termasuk ke dalam kasus penyakit yang dapat ditangani oleh dokter di FKTP.




Pengalaman mengajar CoAss dan dokter internship selama ini menunjukkan lemahnya -untuk tidak mengatakan 'tidak ada'nya- pengetahuan dan keterampilan mereka dalam pemeriksaan visus refraksi dan penatalaksanaan kasus kasus anomali refraksi secara keseluruhan. 

Harap dicatat, kondisi di atas telah terjadi selama puluhan tahun di negeri tercinta ini.

Jadi, kalau BPJS mau memberdayakan dokter umum untuk memperkuat fungsi FKTP yang disebut sebut sebagai gatekeeper, khususnya untuk mensukseskan program penjaminan kacamata di FKTP, maka mau tidak mau - sebagaimana rekomendasi PB IDI - harus dilakukan pelatihan ulang yang komprehensif buat dokter umum di seluruh Indonesia, bukan hanya sekedar ceramah atau mentoring beberapa jam saja.


Salam