Drop Down MenusCSS Drop Down MenuPure CSS Dropdown Menu

Sunday 4 November 2018

BPJS : MENGATUR ATAU MEMBATASI LAYANAN KATARAK ?

                                     dr. Riki Tsan,Sp.M


Warga masyarakat peserta JKN-KIS/BPJS Kesehatan, tidak lagi leluasa memperoleh layanan operasi katarak di rumah sakit.

Pasalnya, Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan (Perdirjampelkes) BPJS Kesehatan nomor 2 tahun 2018 yang diberlakulan sejak akhir Juli 2018 telah membatasi jumlah operasi katarak di seluruh rumah sakit di Indonesia.

Walaupun Mahkamah Agung sudah menjatuhkan vonis menerima penolakan (judicial review) terhadap Perdirjampelkes BPJS Kesehatan nomor 2 (juga nomor 3 dan 5) ini setelah digugat oleh Perkumpulan Dokter Indonesia Bersatu (PDIB), namun sampai hari ini peraturan itu masih tetap terus diberlakukan oleh BPJS.

Kita akan melihat bagaimana dampak dari pemberlakuan peraturan ini terhadap layanan operasi katarak BPJS.

Di dalam peraturan tersebut, BPJS 'mengatur' ( mereka enggan menyebut 'membatasi' ) jumlah pasienbkatarak dengan membatasi tajam penglihatan (visus) pasien katarak, mewajibkan sertifikasi bagi dokter yang akan melakukan operasi  katarak dan menerapkan batasan jumlah (kuota) operasi katarak untuk setiap rumah sakit.

Pertama, BPJS membatasi pasien katarak dengan tajam penglihatan kurang dari 6/18 yang hanya dapat memperoleh penjaminan layanan operasi katarak.
Dengan membatasi tajam penglihatan, maka tidak semua pasien katarak akan mendapatkan layanan operasi katarak walaupun penyakit kataraknya tersebut sudah mengganggu penglihatan dan aktivitas mereka sehari hari.

Sebutlah misalnya sejumlah profesi yang sangat mengandalkan penglihatan mata dalam melakukan pekerjaannya seperti pilot, pekerja laboratorium, dokter dan lain lain.

Padahal, di dalam Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) Penyakit Katarak yang diterbitkan Persatuan Dokter Spesialis Mata Indonesia (Perdami) , indikasi untuk operasi katarak tidak hanya semata mata berdasarkan tajam penglihatan saja.

Namun, BPJS membatasi ruang lingkup pasien katarak yang dapat dioperasi dengan indikasi operasi sesuai dengan kriteria yang mereka tetapkan.

Kedua, mewajibkan sertifikasi terhadap dokter spesialis mata yang akan melakukan operasi katarak dengan metode fakoemulsifikasi.

Di beberapa daerah, BPJS setempat hanya mengizinkan operasi dilakukan oleh dokter spesialis mata yang telah memperoleh sertifikat operasi fakoemulsifikasi yang diterbitkan oleh Kolegium dan Perdami saja.

Dengan aturan ini, sebagian dokter spesialis mata yang telah memiliki sertifikat dari institusi pendidikan dan lembaga lembaga pelatihan atau fellowship fakoemulsifikasi tidak dapat melakukan operasi katarak karena sertifikatnya tersebut tidak diakui oleh BPJS.

Akibat dari kebijakan ini, sebagian dokter spesialis mata tidak dapat melakukan operasi sehingga banyak pasien katarak yang terlantar karena tidak dapat segera dioperasi oleh dokternya.

Ketiga, penetapan batasan jumlah (kuota) operasi katarak.
Sebelum peraturan tersebut diberlakukan, setiap rumah sakit dapat  melakukan operasi katarak dengan penjaminan dari BPJS dalam jumlah yang tidak terbatas.

Namun, sejak peraturan itu diberlakukan, BPJS menetapkan kuota operasi katarak sekaligus mengurangi jumlah operasi katarak  di setiap rumah sakit sebesar 50 %  sampai 80 % .

Kebijakan kuota operasi katarak tentu saja semakin mempersempit warga masyarakat untuk memperoleh layanan operasi katarak yang menjadi hak mereka. 

DAMPAK

Hasil monitoring evaluasi BPJS Kesehatan pada bulan Juli 2018 memperlihatkan realisasi biaya operasi katarak lebih kurang Rp.2.6 triliun untuk membiayai hampir 380 ribu kasus katarak sepanjang kurun waktu 2017.

Untuk mengurangi biaya operasi katarak ini, BPJS mengatur sejumlah regulasi dengan mengurangi dan membatasi peserta untuk memperoleh pelayanan operasi katarak, yakni dengan memberlakukan peraturan tersebut. 

Akibat kebijakan pembatasan dan pengurangan ini, diperkirakan pada tahun 2018-2019, hanya 150 ribu sampai 180 ribu pasien penderita katarak yang dapat memperoleh layanan operasi katarak sementara puluhan ribu pasien lainnya terpaksa mengantri berbulan bulan untuk bisa dioperasi seperti yang sudah terjadi sekarang ini.

Tumpukan pasien yang menderita gangguan penglihatan dan kebutaan akibat penyakit katarak ini tentu saja akan membebani keluarga dan masyarakat mereka karena adanya berbagai hambatan dalam  berkomunikasi dan berinteraksi, serta ketergantungan secara ekonomi.

Apalagi, belakangan ini terlihat adanya kecenderungan munculnya kasus kasus baru katarak yang diderita oleh pasien pasien yang masih berusia muda dan sangat produktif.

Jadi, BPJS memang 'mengatur' layanan katarak, tetapi dengan cara membatasi jumlah operasi katarak.

SOLUSI

Ada tiga jalan keluar yang dapat ditempuh oleh pemerintah untuk mengatasi masalah layanan katarak ini.

Pertama, membatalkan dan mencabut peraturan BPJS Kesehatan tersebut seperti telah diputuskan oleh Mahkamah Agung. 
Kita menunggu tanggapan, sikap dan aksi dari BPJS terhadap keputusan Mahkamah Agung ini untuk segera menarik kembali peraturan yang sangat merugikan tersebut

Selanjutnya, Kementerian Kesehatan (Kemenkes), bersama sama dengan organisasi profesi IDI/Perdami serta pihak pihak terkait secepatnya membahas revisi dari peraturan ini yang isinya tidak merugikan masyarakat, namun juga tidak semakin menambah defisit yang sudah membebani BPJS Kesehatan.

Kedua. Usulan ‘klasik’ yang sudah sering disampaikan oleh para pakar kesehatan yakni menaikkan besaran iuran peserta sampai ke tingkat keekonomian tertentu untuk penjaminan biaya operasi katarak yang semakin bertambah besar sejalan dengan pertambahan jumlah peserta JKN-KIS/BPJS.

Ketiga. Mencabut larangan cost sharing (urun/berbagi biaya) dan kemudian menerapkannya di dalam layanan operasi katarak.

Dalam bauran urun biaya ini, Kemenkes menetapkan sejumlah biaya tertentu untuk operasi katarak standar berdasarkan Indonesian Cased Based Groups (INA-Cbgs) dengan mempertimbangkan regional, klas dan status rumah sakit.

Peserta yang mampu secara ekonomi diberikan pilihan untuk memperoleh layanan operasi katarak yang lebih baik dari sisi metode, teknologi maupun bahan medis dengan menambah selisih biaya dari tarif operasi katarak yang telah ditetapkan di rumah sakit yang bersangkutan.

Semoga kemelut layanan operasi katarak yang dijamin oleh JKN-KIS/BPJS ini dapat terselesaikan dengan baik dan memuaskan berbagai pihak, khususnya masyarakat yang menginginkan pelayanan kesehatan yang optimal dan berkualitas.